Selamat datang di
Newark, Delaware.
Negara bagian Amerika Serikat yang tergolong kecil. Dua hari
yang lalu, Hari Rabu, 12 Agustus 2015, aku datang kemari dari Bandara
Internasional Philadelphia, Pennsylvania. Setelah beres klaim bagasi, aku langsung
ke meja informasi transportasi darat dan menelepon shuttle (angkutan untuk jemput) yang sudah dipesankan untukku. Aku diberi
nomor antrean. Setelah aku mengikuti instruksi wanita berkulit gelap yang duduk
di belakang meja besar itu, aku menelepon ke perusahaan shuttle itu untuk
konfirmasi kedatangan, kemudian dipersilakan menunggu.
Phili, atau Philadelphia, adalah kota besar yang paling dekat dengan
Newark. Bandaranya bisa terbilang sederhana dan nampaknya tidak begitu sibuk. Aku
duduk di kursi tunggu bersama seorang lelaki berkulit gelap yang sepertinya
juga tengah menunggu.
Beberapa saat kemudian chaffeur (sopir) shuttle datang, aku
langsung tanggap menyambut kedatangannya. Pria kulit gelap (lagi) seperti
seumuran ayahku menyapaku dengan sangat sopan. ‘My name is Howard, and I will
be your driver today, Miss. How can I say your name, please?’ dengan senyum
kujawab ‘It’s Anisa.’ Lalu ia mengulang namaku lalu berkata ‘beautiful name...’
ujarnya sembari membawakan koperku.
Ternyata ada dua orang yang sudah menunggu di dalam van
putih yang terparkir di tepi seberang jalan, dua lelaki muda, seorang
diantaranya orang Amerika, yang satu lagi dari Hongkong. Perjalanan ke Newark
dimulai setelah Howard mencatat identitas penumpang yang ia bawa bersamanya. Kurang
lebih selama 30 menit, Howard dan seorang Amerika itu terlibat percakapan yang
aku sudah malas mendengarkan lebih seksama. Jam 11.00. Aku lelah, lapar, belum
sempat makan.
Setelah seorang Amerika turun, kami mulai bercakap. Begitu tahu
aku dari Indonesia, Howard bilang baru kali ini punya penumpang orang
Indonesia. Kami bercakap tentang kota Newark yang sepi, kejahatan atau
kriminalitas, sampai tentang belanja. Ia menunjukkan padaku dan orang Hongkong
yang duduk di jok belakang orang-orang yang sedang bergerombol di sebuah sudut
jalan. Ternyata mereka tidak punya rumah, mereka menunggu charity, mereka mau
melakukan apapun untuk uang. Padahal ini kota kecil, ternyata masih saja ada
yang semacam ini.
Akhirnya sampailah aku di apartment, aku harus mengurus
dokumen dan membayar sewa sampai akhir Bulan Agustus. Bukan hal yang mudah, aku
lelah dari perjalanan jauh, belum makan, perut mual, dan harus urus dokumen,
ditambah lagi mereka tidak terima pembayaran tunai. Aku harus ke Seven Eleven
terdekat untuk money order, agar uangnya bisa dijadikan cek. Dan ternyata
jalannya jauh, panas pula. Sampai disana aku beli keripik kentang family size
dua bungkus, total seharga $6.
Aku kembali ke kantor Studio Green, itu nama apartmennya. Beberapa
saat kemudian aku diantar masuk kamar. Ingin istirahat namun ternyata internet
tidak bisa terhubung. Bingungnya aku, sampai akhirnya aku memutuskan untuk ke
kantor Studio Green untuk main internet, menggunakan fasilitas mereka, tentu
aku butuh mengabarkan keadaanku yang sudah sampai dengan selamat pada mereka
yang menantikan kabarku.
Bu Veni, mahasiswa Indonesia S3 (Ph.D) jurusan Linguistik yang kuhubungi beberapa saat lalu, akhirnya datang
bersama temannya, Joo Yung, membantu banyak hal. Mereka bawakan aku peralatan
dapur dan kasur tiup, aku sangat terharu. Mereka baik sekali. Mereka lalu
mengajakku makan di restoran Pinang, menjual makanan Asia. Aku pesan semacam mie ramen yang tidak ada daging
babinya. Rasanya enak, kayak mie ayam di Indonesia. Karena porsinya besar, aku
tidak bisa habiskan makanannya. $10 untuk semangkuk besar mie yang worth try
rasanya tidak jadi masalah.
Sesaat kemudian aku diajak mereka ke Superfresh, belanja air
mineral, buah, dan lainnya, sebelum kemudian ke apartmen mereka untuk mengambil
kabel dan router, untuk membantu menyelesaikan masalah internetku. Problem solved.
Internetnya bisa nyambung berkat kreasi Joo Yung.
Alhamdulillah, semoga Allah selalu menunjukkan jalan di
setiap kesulitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar