September 7,
2017 (HPL – 7)
Selamat malam,
dunia.
Note ini
ditulis sebagai upaya ‘break’ dari kejenuhan pikiran tentang tema-tema
perkuliahan yang tengah saya hadapi di awal semester dua ini.
Tiba-tiba
saya merasa bahwa saya harus mengabadikan cerita penuh makna ini ke dalam
tulisan.
Saat ini
saya sedang menantikan kelahiran anak pertama, seorang insan generasi muslim
yang berguna untuk ummat di masa depan. Aamiin.
Alhamdulillah,
Allah mempercayakan amanah kehamilan ini kepada saya tak lama pasca menikah
dengan seorang lelaki yang luar biasa, suami saya.
Maka kami
haruslah sangat bersyukur.
Mungkin di
luar sana banyak pula wanita yang punya cerita senada: hamil dan kuliah dalam waktu
yang bersamaan. Yang saya tahu, Dian Sastro aktris terkenal itu juga pernah
mengalami hal yang sama.
Menikah di
Bulan Desember 2016 di usia 25 tahun, saya positif hamil setelah melewati satu
periode haid. Perkuliahan magister saya dimulai bulan Februari 2017. Saat itu,
perasaan campur aduk. Antara senang, kaget, terharu, takut, kuatir, dan bahagia.
Hingga saya ungkapkan hal itu pada Bu Bidan di desa. Namun Bu Bidan menguatkan
saya.
Masa-masa
awal kuliah sekaligus awal kehamilan yang cukup menantang telah sukses saya
lewati karena pertolongan Allah. Morning sickness / mual muntah yang
berkelanjutan membuat saya sering terkulai lemas di rumah, sering rasanya merasa
lemah. Obat pengurang mual dari Bu Bidan seakan tak berarti apa-apa.
Kuliah berlanjut,
tetap berusaha semangat. Suami saya pun membawa saya ke dokter spesialis kandungan
untuk cek tiap bulan dan diberi vitamin. Saya agak kuat menjalani hari-hari,
meski mual dan muntah masih terus dihadapi sampai bulan kelima kehamilan. Tidak
mau makan, badan tak enak, lesu, semua itu sudah dirasakan di masa-masa itu. Beberapa
kawan sekelas yang peka bahkan lama kelamaan tahu kalau saya hamil. Siang hari
hanya makan tahu baso atau pisang goreng dan teh panas, kadang nasi meski
jarang sekali.
Awal kehamilan,
saat kondisi masih sangat lemah, suami saya dengan telaten mengantar saya
kemanapun saya pergi. Kala itu saya masih ada aktivitas mengajar di perguruan
tinggi tempat saya belajar dahulu, juga di sebuah lembaga training profesi
penerbangan, dan bimbingan belajar yang saya rintis di rumah orang tua saya. Di
sela-sela itu, saya masih berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang tidak
sedikit. Yang membuat luar biasa adalah: jarak jauh. Kampus tempat kuliah ada
di Kentingan, tempat mengajar ada di Kartasura dan Colomadu (dekat bandara), rumah
suami tempat saya tinggal ada di Kalijambe, dan rumah ibu jaraknya 15 menit
dari rumah suami.
Dan saya
telah melewati momen-momen itu.
Momen dimana
saya hamil muda dan harus naik sepeda motor sendirian jarak jauh, dengan jalur
lalu lintas yang padat dan keadaan jalan yang tidak mulus, bahkan musim hujan.
Momen dimana
suami mengajak saya berkeliling hanya demi menemukan makanan yang kiranya saya
tertarik atau bisa saya makan.
Momen dimana
saya muntah-muntah di jalan, baik saat berkendara sendiri ataupun dengan suami.
Momen tiba-tiba
mual, lemas, dan keringat dingin di depan para siswa saat mengajar.
Momen dimana
perut terasa kosong dan lapar namun bingung hendak makan apa.
Momen dimana
pop mie hanyalah makanan yang bisa
diterima mulut dan perut.
Dan saya
beruntung karena memiliki suami yang pengertian dengan segala kesabaran dan
keterbatasan kami. Suami yang senantiasa berusaha menjaga saya dan janin yang
tumbuh di rahim ini, agar selamat dan berkembang sempurna.
Bulan April:
workshop pengajar Bahasa Inggris
Bulan Mei: konferensi
internasional di Jogja
Bulan Mei:
tampil menyanyi di acara sharing beasiswa di kampus
Bulan Juni:
puasa sebulan penuh plus kuliah (saya sangat bersyukur atas hal ini)
Bulan Juli:
menjadi panitia dan moderator di workshop pendidikan dengan kawan-kawan sekelas
Bulan Juli:
tes uji kompetensi pengajar pendidikan non formal di jogja.
Ini adalah
semacam reminder / pengingat saya untuk terus bersemangat dan maju dalam
menghadapi kehidupan, demi niat ibadah kepada Allah swt, bahwa saya pernah berhasil
menjalani momen-momen luar biasa dalam episode kehidupan saya.
Maka, di
masa depan saat saya merasa sedih dan patah semangat, saya akan tengok kisah
ini agar merasa malu jika saya tidak bangkit.
Hari perkiraan
lahir yang saya catat ada tiga versi, dari dokter dan bidan berbeda: 14
September, 18 September, dan 26 September. Allah yang berkuasa menentukan kapan
bayi ini akan lahir. Allah yang akan memberikan pertolongan agar ibu dan bayi
selamat, normal, sempurna jiwa dan raganya. Allah penentu segalanya.
Kuliah semester
dua ini dimulai sejak 31 Agustus lalu. Kondisi baik dan sehat, namun malas
makan, tidak mau makan nasi. Dan di minggu-minggu awal ini suami masih sangat
setia mendampingi dengan siaga. Mengantar dan menunggui bukan hal yang mudah
untuk seorang lelaki. Untuk minggu-minggu ini kami masih naik motor. Mungkin selanjutnya
akan naik mobil.
Insya Allah
saya akan menuntaskan semester ini dengan gemilang, pun dengan studi ini. Insya
Allah lulus tahun 2018, dengan membawa ilmu yang bermanfaat bagi kemashlahatan
umat.
Kehadiran bayi
yang tak lama lagi sudah makin terasa di rumah ini. Dua hari yang lalu saya dan
suami berbelanja perlengkapan bayi. Saya masih ingat senyum refleks di wajahnya
saat ibu penjual mengeluarkan baju bayi lengan panjang. Saya percaya bahwa ia
adalah ayah yang baik. Saya pun semakin menyayanginya.
Hei kamu
yang menendang-nendang perut ibu. Kami menantimu dengan tangan terbuka. Jadilah
anak yang baik akhlaknya, sehat jiwa raganya, berbudi pekerti luhur, dan menjadi generasi islam
yang siap menghadapi tantangan masa depan. Setelah semua yang kita jalani
bersama selama Sembilan bulan ini, terbukti atas izin Allah engkau sangat kuat,
Nak.
Kalijambe, 7 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar