Kalau saya ditanya di Indonesia paling sulit jadi guru apa,
saya akan jawab, jadi guru sejarah. Di Amerika sini juga lah saya kembali
menggali lebih dalam tentang pembantaian massal di Indonesia 1965-1966 yang
tragis dan banyak pula diceriterakan dalam buku sejarah. Rasa penasaran ini berawal
ketika seorang mahasiswa PhD Linguistik yang S1 di London dan S2 di Skotlandia
menanyakan tentang film documenter yang judulnya Jagal, the Act of Killing. Penasaran,
saya akhirnya nonton Jagal di youtube, lalu diskusi asyik dengannya tentang
film ini. Ini adalah film documenter yang flashback kekejaman para ‘jagal orang’
di masa tahun 1965-1966 yang membunuh secara massal dengan cara-cara tragis. Seorang
algojo yang bernama Anwar Congo diwawancarai dan jadi figure utama di film ini.
Dia dibawa ke tempat pembantaian dan bercerita begitu kejamnya pembantaian yang
dia dan rekan-rekannya lakukan. Penyiksaan, pembantaian, semuanya bahkan atas
dasar motif-motif yang kabur atau memang dikaburkan pada masa itu. Memberantas komunisme.
Anti PKI. Di akhir film, terlihat jelas dampak fisiologis terlihat dengan
berasa mual-mual ingin muntah tapi tidak bisa keluar apapun dari mulutnya, setelah
mengurai cerita dan mendatangi lagi tempat penjagalannya di masa lalu.
Setelah The Act of Killing, ada film documenter lain yang
menarik perhatian saya. The Look of Silence (Senyap) yang isinya tentang
keluarga korban pembantaian yang mengkonfrontasi seorang jagal yang notabene sudah sangat tua,
bahkan tak lagi ingat apapun. Sudah pikun. Yang tersisa hanya senyap. Kemarahan
tak bisa terluap, mau marah pada siapa? Banyak keadilan dan keingintahuan yang
terabaikan, terlupakan, termaafkan, hingga kini musnah ditelan zaman. Merekalah
keluarga para korban yang dinyatakan hilang, yang sampai kini masih merindu. Hanya
doa yang menghubungkan mereka.
Dan kini, the Shadow Play.
Baru saja aku menontonnya. Bahkan aku serasa dibawa ke masa
lalu dibuatnya. Tahun 1965 adalah tahun dimana puncak perang dingin terjadi. Diceritakan
pada masa itu 1965, Indonesia terkena efek domino Cold War atau perang dingin
antara Negara blok barat dan blok timur. Bung Karno yang pada saat itu menetapkan
Gerakan Non Blok, menjadi perhatian dunia. Dijelaskan bahwa Bung Karno tidak
ingin berpihak pada blok manapun karena Indonesia Negara yang masih baru,
diharapkan akan bisa memperoleh dukungan
dari manapun. Lalu Bung Karno mulai menjalin hubungan baik dengan kedua blok,
namun Negara barat menuding Bung Karno lebih mendukung Blok Timur, ditambah
dengan disahkannya PKI atau Partai Komunis Indonesia, yang pada saat itu sangat
banyak anggotanya hingga diklaim menjadi grup komunis terbesar setelah Cina dan
Uni Soviet. Bung Karno melindungi PKI karena PKI merangkul banyak massa, yang
menurut beliau bisa membantu Bung Karno mewujudkan cita-cita nasionalnya. Bung Karno
sendiri adalah seorang nasionalis. Namun menurut Blok Barat, ini adalah
pengkhianatan. Lalu, ditambah Inggris membuat Negara bentukan di perbatasan Indonesia
yaitu Malaysia. Bung Karno yang marah lalu mengerahkan pasukan militer ke
Malaysia untuk menyerang tentara Inggris, juga intervensi Amerika untuk
kemerdekaan wilayah di Indonesia dengan mendukung pemberontakan wilayah-wilayah
luar Jawa. Hingga kemudian disusul berita Indonesia keluar dari keanggotaan PBB
karena PBB mendukung pembentukan Malaysia.
Gencarlah gerakan-gerakan untuk mengkudeta Sukarno, banyak
yang memusuhi Bung Karno, bahkan di film ini juga disebutkan bahwa ada video
porno yang sengaja dibuat dengan topeng seperti wajah Bung Karno untuk
menghancurkan image Bung Karno di mata rakyat. Karena bersamaan pada saat itu
Bung Karno kerap diberitakan dengan beberapa wanita.
Dan peristiwa malam 30 September, malam dimana enam Jenderal
besar Indonesia dibantai lalu jenasahnya dimasukkan ke dalam sumur, sangat
akrab di telinga kita orang Indonesia, bahkan sering ‘menghiasi’ di buku
sejarah. Apa yang tercatat di buku sejarah? Saya merasa buku itu didesain untuk
saya membenci PKI, dan Gerwani adalah organisasi wanita yang katanya mengebiri
para jendral. Tapi sebenarnya itu tidak benar, begitulah cerita yang saya dapat
dari film ini. Siapa sebenarnya yang membunuh para jenderal? Katanya, perwira tentara
muda / junior yang disebut-sebut masuk komplotan PKI. Namun faktanya, katanya, antek-anteknya
‘dalang’ dari kejadian ini berafiliasi masuk PKI dan memastikan keenam-enamnya tewas.
Metodenya sangat penuh intrik dan rumit, dicurigai ada peran CIA di dalamnya,
namun CIA menyangkal.
Berita bahwa para jenderal dibunuh PKI pun tersebar,
lama-lama banyak propaganda yang menjadi sebab PKI sangat dibenci. Muncullah gerakan
‘pembersihan’ yang menahan, membunuh, dan membantai orang-orang yang terlibat
ataupun diduga terlibat PKI. Bung Karno kemudian memerintahkan Pak Harto untuk
keamanan wilayah, supaya stabilitas kembali normal. Namun yang terjadi,
pembantaian makin banyak. Tentara makin kuat, dan mereka diperintah untuk
mencari ‘antek-antek’ PKI. Banyak pembantaian tingkat desa yang korbannya
dikuburkan di hutan dan ladang tersebar di wilayah-wilayah di Indonesia, paling
banyak di Jawa dan Bali. Jumlah total? Tiada yang tahu, masih sangat misterius,
tapi ketua G 30 S sempat menyebutkan angka dramatis, 3 juta jiwa terbunuh!
Berita-berita yang ditulis jurnalis dengan sebenar-benarnya
pun direkayasa. Baik harian local maupun internasional, semua sama saja. Mengunggul-unggulkan
pembersihan PKI oleh Suharto. Inilah kemenangan besar blok barat. Kekejaman pembantaian
massa saat itu rasanya kejadian yang sangat dimaklumi dan terabaikan kemudian. Tidak
ada pengadilan lanjutan demi keadilan para korban HAM. Di akhir cerita, Bung
Karno tak lagi punya power, seiring kondisi fisik beliau yang sering sakit,
akhirnya ditahan dan meninggal di tahun 1970 dalam kesakitan, baik hati ataupun
badan.
Kasihan adik-adik yang disuguhi Monumen Lubang Buaya, dan buku-buku sejarah yang palsu. Siapa yang benar? Siapa yang salah? Entah. Sibuklah menegakkan
keadilan, namun keadilan yang sesungguhnya bukanlah di dunia. Allah Maha Adil. Semoga tulisan ini bisa ngajak mikir dan menghargai pentingnya sejarah, juga peningnya para pahlawan yang berjuang pada masa itu.
The Shadow Play
Jagal (the Act of Killing)
Senyap (the Look of Silence)
The Shadow Play
Jagal (the Act of Killing)
Senyap (the Look of Silence)
Catatan Guru (otw jadi Dosen) Bahasa Inggris yang Ngajar Bahasa Indonesia
Newark, Delaware (Morris Library, University of Delaware)
February 11, 2016 6:39pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar